ATTENTION: Charlie di vonis 4 tahun penjara. Unduh putusan di sini.

Tanya ChatGPT mengenai putusan ini

Sidang 16 - Pledoi Charlie Chandra

Tangerang, 08 Agustus 2025

Kepada Yang Mulia, 
Majelis Hakim Perkara No: 856/Pid.B/2025/PN. TNG
tanggal 27 Mei 2025
di 
Pengadilan Negeri Tangerang Kelas 1A Khusus. 

Kepada yang kami banggakan,

Tim Penasehat Hukum dari LBH AP PP Muhammadiyah. Saya bersyukur sekali, mendapat perhatian dari persyarikatan Muhammadiyah, melalui LBH AP PP Muhammadiyah yang membela saya, dan sejumlah korban kezaliman PIK-2 lainnya. Saya masih terharu, saat kasus saya ini diangkat oleh Persyarikatan Muhammadiyah sebagai kasus yang dibela secara resmi oleh Ormas Muhammadiyah. Saya yang hadir dalam Konpers di Gedung PP Muhammadiyah kala itu, sangat berterima kasih karena saya yang hanya seorang minoritas Etnis Tionghoa yang juga non muslim, akan tetapi tetap dibela secara serius oleh LBH AP PP Muhammadiyah. Secara khusus, saya berterima kasih kepada Pak Gufroni, SH, MH, yang menjadi Koordinator LBH AP PP Muhammadiyah dalam perkara saya, yang tiada lelah dan penuh resiko mengambil pilihan untuk membela saya.

Kepada yang kami banggakan,

Tim Penasehat Hukum dari Kantor Hukum Fajar Gora & Partners. Pak Ahmad Khozinudin serta seluruh anggota tim Penasehat Hukum yang telah mendampingi perkara kriminalisasi yang saya alami, dari awal hingga sampai saat pembelaan ini dibacakan.

Lebih khusus kepada seluruh aktivis, para emak-emak yang selalu setia hadir dalam setiap agenda persidangan. Ada dari Tim Aliansi Rakyat Menggugat (ARM), Bu Menuk Wulandari dkk, ada dari Front Kebangkitan Petani dan Nelayan (FKPN) bersama Pak Kholid Miqdar dkk, Bapak Muhammad Said Didu, dan seluruh pengunjung sidang sekalian, yang saya hormati.

Saya mengawali risalah pembelaan ini, dengan menyampaikan rasa terima kasih terhadap kesetiaan, perjuangan dan pengorbanan istri saya Elice Chandra.  Perjuangan yang tidak kenal lelah, untuk terus mendukung dan menyemangati saya membela harkat, martabat, kehormatan dan harta peninggalan keluarga, yang telah dirampas oligarki PIK-2. Entah dengan kalimat apa, untuk mengungkapkan betapa saya Bahagia dan bersyukur telah dikaruniai Tuhan, seorang istri yang baik, baik kepada saya, kepada keluarga, juga kepada anak-anak saya. Melalui forum pengadilan ini, saya ingin mengungkapkan betapa saya telah tepat dan merasa sangat beruntung, mengambil keputusan menikah dengan Elice Chandra, istri yang setia, ibu yang baik bagi anak-anak saya.

Kesetiaan itu begitu besar pengorbanannya, harga yang harus dibayar sangat mahal. Setia mendampingi suami yang difitnah menjadi mafia tanah. Setia mendampingi suami yang bukan hanya kehilangan harta peninggalan orang tua, bukan hanya dirampas tanah warisannya, melainkan juga setia mendampingi suami yang dirampas kemerdekaannya, dikriminalisasi oleh oligarki PIK-2 melalui perkara ini.

Kepada istri saya, kembali saya ucapkan terima kasih dan tolong jaga dengan baik anak-anak saya, anak-anak kita. Beberapa waktu ini, saya telah mengabaikan kewajiban untuk mendidik dan merawat anak-anak kita, bukan karena keinginan saya, melainkan karena takdir berkehendak lain. Semoga, melalui keputusan Majelis Hakim yang Mulia yang adil, akan kembali mempersatukan kita dan keluarga berkumpul lagi seperti sedia kala.

Kepada kakak saya, Henrich Chandra. Saya menjalani semua ini, karena ingin agar Amanah dari orang tua kita tidak terabaikan. Saya berjuang untuk membela kehormatan keluarga kita. Terima kasih, telah mendukung penuh perjuangan adikmu ini.

Kepada anak-anak saya: Christopher Chandra, Sophia Chandra dan Charles Chandra. Saksikanlah Nak, Daddy adalah pejuang. Kelak, kalian akan mendapatkan cerita lengkap tentang kisah seorang Charlie Chandra yang berjuang untuk melindungi wibawa dan kehormatan serta harga diri keluarga. Berjuang untuk membela hak atas warisan dari ayahnya. Berjuang untuk melawan oligarki rakus, yang telah banyak merampas tanah dan berbuat zalim kepada rakyat Banten. Pejuang itu bukan orang yang jauh, pejuang itu adalah ayahmu sendiri, Daddy yang selalu menyayangi kalian, Charlie Chandra anak Sumita Chandra.

Daddy telah mengajari dan memberikan teladan kepada kalian, tentang apa itu sifat pahlawan, apa itu kehormatan, apa itu perjuangan dan apa yang dimaksud dengan tegar atas segala konsekuensi perjuangan. Daddy yang hanya anak seorang pengelola empang, yang puluhan tahun mengais rezeki dari usaha empang, yang empang itu akhirnya dirampas oleh kerakusan bisnis property, Daddy adalah anak dari Sumita Chandra yang selain telah dirampas tanahnya, masih dituduh penjahat yang melarikan diri ke Australia. Sungguh, jahat sekali tuduhan itu. Mereka, oligarki rakus itu telah merampas tanah sekaligus merenggut seluruh kehormatan keluarga kita. Karena itu, catatlah nama-nama mereka! Catat nama Aguan! Catat nama Anthoni Salim! Catat nama Ali Hanafiah Lijaya! Catat nama Nono Sampono! Catat nama Muanas Alaidid! Mereka inilah, yang telah melakukan kezaliman kepada keluarga kita, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, merampas tanah keluarga kita dan membangun industry property diatas tanah warisan keluarga kita.

Namun, kami diajarkan dalam Doa Bapa Kami: “…ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami…” Maka kami mencatat nama mereka—bukan untuk membalas dendam, tetapi untuk didoakan. Agar mereka sadar dan bertobat. Agar hati mereka disentuh oleh kebenaran dan keadilan. Agar mereka tidak terus-menerus menumpuk kekayaan di atas penderitaan orang lain.

Kami tidak membalas kejahatan dengan kejahatan. Kami hanya menuntut kebenaran ditegakkan. Dan menyerahkan segala penghakiman kepada Tuhan, Sang Hakim Yang Maha Adil.

Wahai Rakyat Banten, Wahai rakyat Indonesia. Jika kalian menganggap, perjuangan yang saya lakukan hanya untuk keluarga saya, maka kalian telah keliru. Sama kelirunya, ketika sebagian dari kalian justru mendukung proyek PIK-2 yang telah menzalimi banyak orang, memuat berita fitnah, bukan hanya zalim pada keluarga saya, tetapi juga zalim kepada saudara saudara di Banten. — yang seagama dan sesama anak bangsa — yang haknya dirampas tanpa dasar yang sah. Lihatlah! Haji Fuad Efendi Zarkasy, yang merupakan warga asli Banten, yang juga tak luput dari kezaliman Aguan. Lihatlah! Kezaliman kasus pagar laut, kezaliman sejumlah kemacetan dan kecelakaan truk-truk pengangkut material tanah untuk melayani proyek PIK-2. Coba perhatikan, betapa zalimnya proyek PIK-2 milik Aguan dan Anthoni Salim ini.

Pertama, mereka melakukan Kegiatan Penyelundupan Hukum Kawasan PSN PIK-2 yang hanya seluas 1.755 Ha terletak di Kecamatan Kosambi. Namun pada faktanya, proyek PSN PIK-2 diterapkan di semua wilayah pembebasan lahan yang tidak termasuk Kawasan PSN di 10 Kecamatan (9 Kecamatan di Kabupaten Tangerang dan 1 Kecamatan di Serang, yakni di Kecamatan Teluk Naga, Paku Haji, Sepatan, Mauk, Kronjo, Kresek, Gunung Keler, Kemiri, Mekar Baru dan Kecamatan Tanara Kabupaten Serang) menjadi Kawasan PIK-2 yang mendapat fasilitas PSN.  Ini semua yang membuat rakyat Banten tak berani melawan PIK-2 dan akhirnya terpaksa menjual tanah kepada PIK-2 dengan harga yang murah.

Kedua, Mereka  melakukan Kegiatan pengantaran material tanah timbun untuk pengurukan lokasi PIK-2 menggunakan sejumlah truck, menimbulkan polusi, kerusakan jalan, kemacetan, hingga menimbulkan kecelakaan dengan korban jiwa. Terakhir, terjadi kecelakaan berupa seorang remaja berumur 13 tahun terlindas kendaraan truck yang membawa material tanah timbun untuk pengurukan lokasi PIK-2. Sejumlah kabar kematian akibat kecelakaan proyek PIK-2, telah sering kita dengar dan menjadikan rakyat Banten tumbal proyek milik Aguan ini.

Ketiga, mereka melakukan Kegiatan pengantaran material tanah timbun untuk pengurukan lokasi PIK-2 menggunakan truck dilakukan secara terus menerus (1 x 24 jam), yang melanggar ketentuan Pasal 3 PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR, 12 TAHUN 2022 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN BUPATI NOMOR 46 TAHUN 2018 TENTANG PEMBATASAN WAKTU OPERASIONAL MOBIL BARANG PADA RUAS JALAN DI WILAYAH KABUPATEN TANGERANG, yang mengatur jadwal operasional truck Pukul 22.00 WIB sampai dengan Pukul 05.00 WIB. Truck-truck pengangkut tanah hilir mudik 24 jam, walau akhirnya belakangan terpaksa dievaluasi dan mentaati peraturan setelah terjadi kecelakaan yang menimbulkan kemarahan rakyat Banten di Tangerang Utara.

Keempat, mereka melakukan Kegiatan pemagaran Kawasan area PIK-2, yang telah memutus akses masyarakat (warga desa) ke sejumlah wilayah lainnya, yang sebelumnya terhubung secara alami melalui sejumlah jalan desa dan jalan terusan yang ada didesa. Kawasan PIK-2 menjadi Kawasan eksklusif yang membuat desa terisolasi dari akses ke wilayah lainnya, yang sebelumnya bisa secara bebas dan leluasa terhubung.

Kelima, mereka melakukan Kegiatan pembangunan Kawasan area PIK-2, yang telah menutup sejumlah akses publik selain akses jalan, juga akses Nelayan untuk melaut secara bebas, karena sejumlah proyek PIK-2 di Kawasan pantai telah menghalangi rute nelayan untuk melaut pada jalur yang biasa dilewati.

Keenam, mereka melakukan Kegiatan pembangunan Kawasan area PIK-2, yang telah merampas hak tanah rakyat karena terpaksa menjual tanah mereka dengan harga murah dan kehilangan sumber penghasilan untuk bertahan hidup, baik dari kegiatan bertani, menggarap sawah maupun mengelola tambak. Sedangkan, harga tanah yang murah (sekitar Rp30 ribu hingga Rp50 ribu per meter) tidak dapat digunakan untuk membeli tanah pengganti, untuk dijadikan asas produksi dan sumber mata pencaharian pengganti. Bahkan, terhadap tanah keluarga saya, mereka tak membayar harga satu rupiah pun. Tanah saya, saat ini sudah menjadi Kawasan PIK-2 yang dijual kepada Customer. Bayangkan — ini adalah saudara-saudara kita sendiri. Sesama anak bangsa. Sesama warga negara Indonesia. Mereka telah dimiskinkan, dirampas haknya, dan terusir dari tanah leluhur mereka demi kepentingan proyek raksasa bernama PIK-2. Apabila Anda pernah menerima uang dari mereka, maka ketahuilah — itu adalah uang haram. Uang yang berasal dari kezaliman, dari penderitaan orang-orang yang dirampas haknya, ternasuk saya.

Ketujuh, mereka melakukan pembebasan lahan yang tidak termasuk Kawasan PSN di 10 Kecamatan (9 Kecamatan di Kabupaten Tangerang dan 1 Kecamatan di Serang, yakni di Kecamatan Teluk Naga, Paku Haji, Sepatan, Mauk, Kronjo, Kresek, Gunung Keler, Kemiri, Mekar Baru dan Kecamatan Tanara Kabupaten Serang), menimbulkan sejumlah masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat yang dirampas, diintimidasi, dan lain sebagainya.

Kedelapan, mereka melalui PT Mutiara Intan Permai sebagai Badan Usaha Pengelola dan Pengembang PSN PIK-2 Tropical Coastland, merampas tanah Negara untuk dijadikan Kawasan Bisnis Properti, sehingga memunculkan ancaman pertahanan dan keamanan negara melalui munculnya entitas “Negara Dalam Negara di PIK-2”. Walaupun, belakangan rencana jahat ini telah dibatalkan oleh Presiden Prabowo Subianto dengan tidak lagi memasukan Kawasan PIK-2 sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) di era Presiden Prabowo Subianto.

Kedelapan masalah yang ditimbulkan oleh proyek PIK-2, memang bukan merupakan fakta persidangan. Namun, 8 masalah ini saya ketahui secara langsung saat saya berinteraksi dan berjuang bersama aktivis yang peduli pada Rakyat Banten. Sejumlah Purnawirawan TNI dan Aktivis Aliansi Rakyat Menggugat (ARM), membawa perkara tersebut ke ranah hukum melalui gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Namun sayangnya, informasi yang saya peroleh, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghentikan kasus dengan menyatakan tidak berwenang mengadili perkara kezaliman proyek PIK-2 tersebut.

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Sulit untuk mempercayai, masih ada hukum dan keadilan di Negeri ini setelah rakyat mengetahui secara telanjang, bagaimana aparat penegak hukum tidak lagi berkhidmat kepada hukum untuk melayani rakyat, melainkan sibuk melayani kepentingan oligarki. Seperti sesuatu yang sudah menjadi pengetahuan umum, di Tangeraang Banten ini, nyaris tidak ada seorang pun yang berani melawan Aguan. Tidak aparat penegak hukum, tidak pula para pejabatnya, semua tunduk melayani kepentingan Aguan.

Sebagai bagian dari etnis Tionghoa, saya merasa sangat prihatin dan malu melihat ada sosok dari komunitas kami sendiri, seperti Aguan, yang bersikap zalim terhadap rakyat kecil. Harapan saya, para tokoh besar yang sering disebut sebagai “sembilan naga” seharusnya menjadi pelindung bagi mereka yang lemah — bukan sebaliknya, menjadi alat penindas. Kezaliman ini bukan hanya menimpa saya, yang juga berasal dari etnis Tionghoa, tetapi juga menimpa banyak pemilik tanah lain yang menjadi korban dalam proyek raksasa PIK-2. Ketika kekuasaan dan kekayaan digunakan untuk menyingkirkan yang lemah, maka rusaklah martabat sosial, hukum, dan solidaritas etnis itu sendiri.

Meskipun Aguan mungkin tidak terlibat langsung, namun pada faktanya seluruh kriminalisasi terhadap pemilik tanah di Tangerang Utara, pada akhirnya tanah tersebut dikuasai oleh PIK-2, yang dimiliki oleh Aguan dan Anthoni Salim. Akibat Perbuatan Zalim Aguan dan Anthoni Salim inilah yang mendiskreditkan dan memberikan stigma buruk kepada Etnis Tionghoa.

Namun  sekali lagi, saya masih memiliki keyakinan. Dibalik seluruh kerusakan hukum yang terjadi di negeri ini, masih ada sedikit dari sisa-sisa keadilan, yang akan memberikan hak kepada pemiliknya, dan melepaskan belenggu kezaliman dari para pelaku kezaliman. Saya tidak tahu apa putusan akhir dari perkara yang saya jalani ini, akan tetapi saya memiliki keyakinan Majelis Hakim yang Mulia adalah “Wakil Tuhan” termasuk dari sebagian kecil dari penegak hukum yang akan menunaikan Amanah, memberikan hak pada pemiliknya, dan memberikan keadilan pada diri saya dan keluarga saya, yang terdampak akibat kezaliman yang dilakukan oleh proyek PIK-2.

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Saya adalah Charlie Chandra. Saya bukan pengusaha besar. Saya bukan orang kuat. Saya hanya seorang anak dari Sumita Chandra—seorang ayah yang dengan itikad baik membeli tanah, membayar pajak bumi dan bangunan sejak tahun 1988, dan mewariskannya kepada saya. Tanah itu telah terdaftar atas nama ayah saya sendiri sejak tahun 1988. Saya menjalankan hak saya sebagai ahli waris dalam satu sisi. Sementara, disisi lainnya saya menjalankan kewajiban untuk meneruskan Amanah atas harta peninggalan orang tua saya.

Tapi bagaimana saya bisa menjelaskan kepada anak-anak saya — bahwa ayah mereka yang tidak pernah mencuri, tidak pernah merampas hak orang lain, justru ditangkap, difoto sebagai buronan, dan wajahnya ditempel di depan sekolah mereka sendiri?

Anak-anak saya yang tak bersalah ikut dihukum secara sosial — hanya karena ayahnya menolak menjual tanah warisan kepada PIK-2. Anak-anak saya, juga dihukum secara mental dan psikologi, tak dapat rasa kasih dan bimbingan dari ayahnya, karena kemerdekaan ayah mereka direnggut di dalam penjara atas nama hukum.

Lebih menyakitkan lagi, tanah yang sudah bersertifikat SHM sejak 1988, milik keluarga kami, bisa “dihilangkan” begitu saja dengan bantuan oknum Aparat Sipil Negara (BPN) dan Aparat Penegak Hukum — dan kemudian beralih ke PIK-2, perusahaan milik orang kaya. Inikah wajah hukum dan keadilan di Indonesia hari ini?

Fakta Penguasaan dan Penyerobotan Tanah

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Perkara ini bukan persoalan pidana, melainkan perampasan dan kriminalisasi serta rekayasa kasus terhadap pemilik yang sah. Balik nama waris adalah hak dan prosedural, bukan kejahatan. Dalam persidangan telah terbukti bahwa keluarga kami telah menguasai fisik tanah sejak tahun 1988. Kami memiliki foto-foto, ada keterangan saksi yang menggarap tanah itu, ada perjanjian sewa-menyewa, izin sewa dari BCA, dan bukti pembayaran PBB yang rutin sejak tahun 1988.

Sementara itu, saksi Kelana, yang mengaku sebagai ahli waris dari The Pit Nio, di bayar Rp5,000,000 untuk tanda tangan surat kuasa ke PT MBM, hanya menyatakan pernah mendengar bahwa keluarganya menguasai tanah itu, berdasarkan cerita pamannya. Tidak bisa memberikan bukti-bukti apapun, tapi justru kesaksian yang begini yang dipakai Polisi dan Jaksa Penuntut Umum. 

Pada tahun 2013, penyewa sah kami, Uncai dan Hengky, diusir oleh sekelompok orang tak dikenal yang kemudian menduduki tambak milik keluarga kami secara paksa. PT Mandiri Bangun Makmur (PT MBM) kemudian mengaku telah menguasai tanah tersebut sejak tahun 2015, namun tidak pernah menunjukkan alas hak apapun.

Yang lebih mencengangkan, tanah yang mereka duduki secara fisik adalah SHM No. 5/Lemo, masih tercatat atas nama Sumita Chandra — ayah saya. Inilah yang oleh Ahli Pertanahan Dr. FX. Arsin Lukman disebut sebagai “Penguasaan Ilegal(Illegal Occupation).

Karena menurut hukum pertanahan, penguasaan fisik baru sah jika didukung oleh alas hak yang sah. Dan dalam hal ini, alas hak yang sah adalah Sertifikat Hak Milik (SHM), yang berada atas nama keluarga kami sejak 1988.

Tentang Balik Nama Sesuai Prosedur Hukum

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Surat kuasa yg saya berikan ke Notaris Sukamto bukan untuk menjual tanah, melainkan murni untuk mencatat hak waris saya atas nama ayah saya, Sumita Chandra, sebagaimana diatur dalam hukum pertanahan. Sebelum saya memberi surat kuasa pun juga sudah dilakukan pengecekan menunjukkan sertifikat SHM No. 5/Lemo tidak diblokir, tidak ada catatan sengketa, dan masih atas nama ayah saya. Maka sangat wajar jika saya percaya tanah itu tidak dalam sengketa. 

Saya tidak membuat sendiri surat permohonan. Saya tidak menulis atau menyusun kalimat dalam lampiran 13. Lampiran 13 disediakan oleh BPN dan di isi oleh Notaris Sukamto. Tidak ada yang saya ketahui, saya rubah atau isi. Saya juga sempat dipanggil ke BPN ketemu pak Johan dan dikonfirmasi, apakah benar saya yang ajukan.

Pak Johan dari BPN tidak memberitahu saya adanya keberatan dari pihak manapun. Tidak ada satu pun informasi yang menyebutkan tanah ini bermasalah. Jika PT MBM merasa memiliki, kenapa tidak dicatatkan atau menggugat di pengadilan atau blokir di BPN?  Surat kuasa yang saya berikan kepada Notaris Sukamto juga jelas: hanya untuk keperluan balik nama waris. Sama sekali tidak ada kuasa untuk menjual.

Bahkan saat itu saya justru menolak penawaran pembelian dari PT Mandiri Bangun Makmur. Karena saya tidak ingin menjual tanah yang merupakan warisan ayah saya, yang telah kami rawat dan pertahankan sejak tahun 1988. Jika pun saya ingin menjualnya suatu saat nanti, tentu saya akan menempuh proses hukum yang benar dan sah. 

Balik nama bukanlah untuk mendapatkan hak baru, melainkan semata-mata untuk mencatat hak yang sudah melekat dalam keluarga kami sebagai ahli waris. Ini adalah langkah yang wajar dan sah menurut hukum, bukan upaya untuk menjual atau mengambil keuntungan dari hak orang lain—karena hak itu memang sudah ada di keluarga kami sejak awal.

Saya bukan korban satu-satunya. Ini pola yang berulang. Saat menolak menjual, warga dilaporkan pidana. Bahkan laporan pertama atas saya sudah SP3. Tapi PT MBM tidak berhenti melaporkan terus.

Kriminalisasi Terhadap Pemilik Sah

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Saya telah berjuang ke berbagai institusi untuk mencari keadilan. Pada tanggal 13 November 2023, saya datang ke DPR RI dan bertemu langsung dengan Ketua Panja Mafia Tanah Komisi II Bapak Dr. Junimart Girsang. Mereka berjanji akan membantu dengan memanggil Pihak PT Agung Sedayu. Namun, 3 hari kemudian tanggal 16 November 2023, saya justru ditetapkan sebagai tersangka. Saya kembali datang ke DPR Komisi III pada 4 Maret 2025 untuk menyampaikan kejanggalan kriminalisasi atas diri saya. Tapi dua bulan kemudian, perjuangan saya mencari keadilan justru berakhir dengan penghinaan terhadap martabat saya dan keluarga.

Saya ditangkap pada hari yang sama dengan panggilan pertama sebagai tersangka, padahal saya baru menerima surat panggilan itu sehari sebelumnya, yaitu hari Minggu. Kami bahkan sudah ke Polda Banten dan hanya meminta waktu 3 hari saja untuk datang secara patuh. Tapi polisi justru memilih menangkap saya seperti buronan teroris.

Yang lebih menyakitkan, foto saya dengan label “DPO” ditempel di depan sekolah anak saya. Sepanjang jalan Perumahan, melalui social media, seolah-olah saya ini penjahat berat. Jika anak saya melihatnya. Teman-teman sekolahnya melihatnya. Apa sebenarnya kesalahan saya? Apakah mencatatkan hak waris atas nama orang tua sendiri kini dianggap sebagai kejahatan? Ironisnya, justru mereka yang mengusir kami dari tanah warisan keluarga—mereka yang merampas hak kami—dibiarkan seolah tak bersalah.

Saya bahkan dipanggil sebagai tersangka sebelum ada surat resmi penetapan sebagai tersangka. Padahal saat itu kami masih menunggu hasil gelar perkara di Wassidik Mabes Polri. Gelar perkara yang seharusnya menjadi forum untuk menilai, apakah perkara ini layak naik ke proses pidana. Namun proses itu dilangkahi begitu saja. Saya diperlakukan seolah-olah sudah pasti bersalah, bahkan sebelum hasil gelar perkara keluar.

Saya bertanya kepada diri saya sendiri dan kepada negara ini: Apakah memang pantas seorang anak yang hanya mencatatkan warisan dari ayahnya harus difitnah, ditangkap, difoto sebagai buronan, dan dipermalukan di depan umum?

Semua ini terjadi hanya karena satu blanko administratif (Lampiran 13 BPN) yang diisi oleh Notaris – yang secara hukum berwenang. Saya tidak mengisi. Saya tidak mengetahui teknis pengisiannya. Saya hanya memberi kuasa untuk balik nama waris, bukan untuk menjual, memalsukan, melakukan perbuatan melawan hukum atau merebut tanah milik orang lain.

Tapi saya yang ditangkap. Saya yang dipermalukan. Sementara dalam kasus lain pembuat 263 SHGB di atas laut, Arsin, Kepala Desa Kohod masih bebas di luarPemilik SHGB diatas laut juga bebas berkeliaran. Ali Hanafia Lijaya masih belum tersentuh hukum padahal namanya sudah di sebut-sebut dan, seluruh sertifikat di pagar laut telah diakui milik Agung Sedayu Grup melalui anak usaha mereka, PT Intan Agung Makmur (IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa (CIS). Pagar laut juga masih berdiri kokoh, aktivitas reklamasi pantai oleh Agung Sedayu Group juga jalan terus.

Dimana hukum? Dimana keadilan? Saya bertanya: Apa gunanya DPR jika rakyat kecil tetap dikriminalisasi? Apa gunanya pengaduan jika justru kami yang dikorbankan? Di mana negara saat rakyatnya diperlakukan tidak adil?

Saya juga telah mengadu ke Menteri ATR/BPN saat itu, Bapak Marsekal Hadi Tjahjanto. Tapi berselang dua bulan kemudian, BPN malahan menerbitkan SHGB atas nama PT Mandiri Bangun Makmur (PT MBM), yang justru memunculkan sengketa baru di atas tanah kami yang sah.

Saya juga bertemu dengan mantan Wakil Menteri ATR, Bapak Raja Juli Antoni. Tapi alih-alih membela, saya justru disalahkan karena dianggap tidak mampu menjaga tanah dari para preman.

Saya bahkan sudah menemui Menteri ATR/BPN yang baru Bapak Nusron Wahid. Beliau menjanjikan gelar perkara ulang. Tapi sampai dengan hari ini, tidak ada kabar tentang Gelar Perkara ulang tersebut. Lalu apa gunanya ada Menteri dan DPR jika tidak bisa menyelesaikan masalah warga negaranya?

Sementara itu, PT MBM—anak perusahaan Agung Sedayu—yang menduduki tanah kami sejak 2013 tanpa alas hak, tetap tak tersentuh. Laporan mereka terhadap saya diproses cepat. Polisi bahkan menyalahkan saya, padahal saya memiliki SHM yang sah dan dikuatkan oleh adanya Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan bahwa ayah kami adalah pembeli beritikad baik. Inikah wajah Polisi yang berslogan “Melindungi dan Melayani”? Siapa yang dilindungi? Siapa yang dilayani?

Pembungkaman Melalui Perjanjian

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Dalam persidangan, Saksi Saudara Nono Sampono telah mengakui bahwa laporan terhadap saya ke polisi memang dilakukan agar saya tidak lagi menuntut hak atas tanah itu. Jadi jelas, proses hukum ini sejak awal bermotif membungkam dan menghentikan perjuangan saya dengan merekayasa hukum.

Kenapa saya dianggap melanggar perjanjian perdamaian? Saya hanya menceritakan pengalaman saya karena saya melihat banyak korban PIK-2—termasuk para aktivis—yang justru dituduh menyebarkan fitnah, hoax dan sara. Padahal apa yang mereka katakan itu terjadi kepada saya sendiri. Lalu bagaimana mungkin saya bisa diam saja? Saya merasa punya tanggung jawab moral untuk bersuara. Karena saya pernah mengalaminya sendiri. Dan saya tidak ingin orang lain mengalami nasib yang sama. Bagi saya, jika saya memilih diam, itu sama saja saya menjadi bagian dari pelaku kejahatan itu sendiri. Saya hanya berharap rakyat Banten tidak membenci etnis Tionghoa karena kasus ini. Saya sendiri adalah orang Tionghoa yang menjadi korban, bukan pelaku.

Saya tidak bersuara karena kebencian. Saya bersuara karena iman. Saya tidak berbicara karena ambisi duniawi, tetapi karena saya merasa dipanggil oleh Tuhan untuk menyatakan kebenaran, dan menolak tunduk pada ketidakadilan.

Sebagai seorang Katolik yang juga menghargai nilai-nilai lintas iman, saya merenungkan firman Tuhan — baik dalam Alkitab maupun Al-Qur’an. Ayat-ayat suci itu telah menyentuh hati saya, dan menjadi landasan moral atas keberanian saya bersuara:

Dalam Qur’an Surah Al-Baqarah ayat 42

“Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebatilan dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedangkan kamu mengetahuinya.”
(QS. Al-Baqarah 2:42) 

Dalam Surah An-Nisa’ ayat 135

“Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri…”
(QS. An-Nisa’ 4:135)

Dalam Surah Al-Ma’idah ayat 8

“Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.”
(QS. Al-Ma’idah 5:8)

Dan dalam permenungan saya bersama komunitas Katolik, saya membaca:

“Jadi janganlah kamu takut kepada mereka, karena tidak ada sesuatu pun yang tertutup yang tidak akan dibuka, dan tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi yang tidak akan diketahui.”
(Matius 10:26 – Sabtu, 13 Juli 2024)

Ayat ini menjadi perintah langsung bagi saya untuk tidak takut menyatakan kebenaran, bahkan saat ancaman dan tekanan datang. Karena saya yakin, Tuhan menyertai saya, dan apa yang saya lakukan bukanlah pemberontakan, tapi ketaatan kepada panggilan iman.

Saya hanyalah seorang anak yang ingin menjaga amanah ayahnya, memperjuangkan hak waris keluarganya, dan menolak membiarkan kebenaran dikubur demi kenyamanan para penguasa. Saya bersaksi bukan karena saya kuat, tapi karena saya percaya: kebenaran berasal dari Tuhan. Dan berbohong atau diam saat tahu kebenaran — itulah bentuk pengkhianatan terhadap iman saya.

Perjanjian perdamaian yang pernah dibuat tidak mengandung pasal larangan berbicara atau berekspresi. Tidak ada klausul kerahasiaan. Sebuah perjanjian tidak bisa digunakan untuk membungkam ekspresi, jika tidak ditulis secara eksplisit. Satu bola boleh dilihat dari dua sisi yang berbeda, tapi hukum tetap mengikat pada apa yang tertulis. Dan tidak ada satu pasal pun dalam perjanjian itu yang saya langgar.

Saya ingin bertanya:

  • Apa gunanya sertifikat SHM jika negara tidak melindungi pemiliknya?
  • Apa gunanya membayar PBB selama 35 tahun jika BPN bisa menerbitkan SHGB baru dan menyengketakan kami?

Ironisnya, pihak yang mengusir kami dan menduduki tanah secara ilegal justru menuduh saya membuat surat palsu. Mereka mencari-cari kesalahan saya seperti:

  • Kenapa tidak memberi tahu BPN tentang putusan pidana? BPN tidak tau mengenai putusan ini.

Saya menjawab: BPN sudah tahu! Karena dalam putusan 82/Pdt.G/1997, secara jelas telah disebutkan adanya putusan pidana yang berkaitan dengan objek tanah tersebut. BPN sendiri telah menjadi pihak tergugat. Bahkan BPN mengajukan eksepsi—yang berarti mereka tahu dan memahami seluruh riwayat hukum dan putusan yang ada. Maka tidak masuk akal jika saya dituduh menyembunyikan sesuatu dari pihak yang sudah tahu. Sungguh rekayasa hukum yang diaminkan oleh Aparat Penegak Hukum.

Tapi mengapa tidak ada yang bertanya:

  • Kenapa tidak ada yang menyebut putusan yang menyatakan kami pembeli beritikad baik dan secara tegas mengesampingkan putusan pidana?
  • Kenapa tidak ditanya kepada Nono Sampono, apa dasar hukum PT MBM menduduki dan bahkan menjual tanah yang masih tercatat atas nama Sumita Chandra?
  • Kenapa PT MBM memakai surat kuasa dari ahli waris yang sudah tidak berhak?
  • Kenapa PT MBM tidak mengajukan blokir ke BPN, jika memang mengklaim sedang bersengketa? Ini kan kelalaian legal PT MBM!
  • Kenapa Mety Rahmawati yang sudah dipanggil secara patut tidak hadir untuk membuktikan kerugian dan semua pertanyaan yg tidak bisa dijawab oleh Nono Sampono?

Padahal, saksi BPN, Johan, menyatakan bahwa permohonan balik nama kami sudah lengkap dan memenuhi syarat. Tapi permohonan itu tidak diproses karena perintah atasan, bukan alasan hukum.

Lebih parah lagi, dokumen rahasia kami di BPN ini bocor dan jatuh ke tangan pelapor. Ini bukan sekadar pelanggaran administrasi, tapi bukti nyata ketidaknetralan dan keberpihakan Aparat Sipil Negara (BPN) dan Aparat Penegak Hukum yang seharusnya me-negakan hukum.

Putusan Perdata Inkracht yang Diabaikan

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Hingga saat ini, AJB kami masih sah. SHM kami juga masih sah. Tidak pernah dibatalkan oleh pengadilan mana pun. Justru BPN-lah yang menciptakan masalah dengan menerbitkan SHGB di atas tanah yang sudah bersertifikat sah atas nama ayah saya.

Bukannya menyelesaikan, BPN justru menambah sengketa. Putusan perdata kami menang dianggap seolah-olah tidak pernah ada. Padahal:

  • Tidak ada satu pun putusan pengadilan yang membatalkan AJB atau SHM kami.
  • Tidak ada satu pihak pun yang menggugat keabsahan kepemilikan kami lagi hingga SHM kami dibatalkan sepihak oleh BPN tahun 2023 dengan alasan cacat administrasi. 
  • Semua fakta diabaikan:
    • Kami membayar pajak selama 35 tahun.
    • Kami memiliki SHM sah sejak 1988.
    • Penyewa kami diusir secara ilegal.

Yang selalu disebut hanya putusan pidana yang menghukum pelaku kejahatan, tidak membatalkan keabsahan SHM dan AJB yang menjadi dasarnya. Padahal, sudah ada putusan perdata yang lebih tinggi dan mengesampingkan pertimbangan dalam putusan pidana terkait keabsahan AJB dan SHM yang kami miliki.

Pembatalan SHM oleh BPN Tidak Sah dan Melanggar Hukum

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Berdasarkan fakta persidangan, menurut saksi Ahli Pertanahan Dr. FX Arsin Lukman dengan tegas menyatakan bahwa SK Pembatalan Pencatatan Peralihan Hak atas nama Sumita Chandra oleh BPN Patut Dianggap Tidak Pernah Ada, karena dikeluarkan secara sewenang-wenang dan tanpa dasar hukum yang sah. Pembatalan karena cacat administrasi oleh BPN hanya bisa dilakukan jika SHM di bawah 5 tahun. SHM kami sudah 35 tahun. 

Inilah saat ketika negara absen. Negara tidak hadir untuk melindungi warga yang memiliki bukti dan hak sah. Yang dilindungi justru mereka yang punya kekuasaan, modal, dan akses ke Aparat Sipil Negara (BPN) dan Aparat Penegak Hukum. 

Namun saya masih berharap: sidang ini berbeda.

Saya tahu siapa yang berat sebelah.

Saya masih percaya—bahwa Majelis Hakim yang Mulia dapat melihat bahwa:

Tidak ada satu pun bukti bahwa saya melanggar hukum.

Tidak ada satu pun unsur pasal yang dapat dikenakan kepada saya.

PT MBM Tidak Memiliki Alas Hak & Tidak Alami Kerugian

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Saat Notaris Sukamto mengajukan permohonan balik nama, SHM No. 5/Lemo masih sah terdaftar atas nama ayah saya sendiri, Sumita Chandra dan AJBnya. Lalu, bagaimana mungkin seorang anak yang hanya mencatat warisan dari orang tuanya sendiri justru ingin dipenjara?

Apakah mencatat balik nama atas nama ayah sendiri kini dianggap sebagai kejahatan?

Saya tegaskan: Tidak ada kerugian yang dialami oleh PT MBM.

Justru merekalah yang tanpa hak dan melawan hukum sudah menjual-belikan tanah milik orang tua saya, tanah yang masih terdaftar atas nama Sumita Chandra. 

Kalau ada yang mendapat keuntungan dari keadaan ini, itu bukan saya—melainkan mereka. Dan sekarang, mereka ingin memenjarakan saya, padahal mereka sendiri yang dengan tanpa hak dan melawan hukum menduduki dan memasarkan tanah yang bukan milik mereka. SHGB atas nama PT MBM baru terbit bulan Juli, empat bulan setelah permohonan balik nama waris saya diajukan. 

Artinya, pada saat itu, mereka bukan pemilik sah, bukan pihak yang tercatat di sertifikat, bahkan bukan pemegang hak atas tanah tersebut. Nono sampono pun mengatakan “faktanya begitu”. Jadi, apa urusannya mereka merasa dirugikan atas tanah yang secara hukum belum menjadi milik mereka?

Maka saya tegaskan:

  • Saya tidak membuat surat palsu.
  • Saya tidak menyuruh membuat surat palsu.
  • Saya tidak menyembunyikan apa pun.
  • Saya tidak menjual tanah itu. Justru saya menolaknya.
  • Saya tidak merugikan siapa pun. PT MBM bahkan tidak punya alas hak.

Balik Nama Waris Bukan Tindak Pidana. 

Jika proses ini salah, maka itu merupakan kesalahan administratif, Bukan Merupakan Pidana. Bahkan Ahli Pidana Prof. Sadjijono dan Ahli Pertanahan Dr. FX. Arsin Lukman menyampaikan di dalam persidangan bahwa perbedaan informasi administratif tidak otomatis menjadi pidana. Dan orang yang memberi kuasa tidak otomatis ikut bersalah jika tidak tahu atau tidak menyuruh. Yang saya lakukan hanyalah menjalankan hak saya sebagai ahli waris sah atas SHM No. 5/Lemo, milik ayah saya sendiri.

Tiga Pertanyaan Penting untuk Majelis Hakim

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Akhirnya, izinkan saya menyampaikan tiga pertanyaan penting kepada Majelis Hakim yang Mulia:

Pertama,
Bagaimana mungkin saya dituduh turut serta dalam tuduhan membuat surat palsu — khususnya Lampiran 13 — jika orang yang diduga membuat surat itu sendiri, yakni Notaris Sukamto, bahkan belum disidangkan hingga hari ini?
Apakah adil menuduh saya ikut serta bersama-sama dalam suatu perbuatan yang pelakunya sendiri belum pernah diuji secara hukum?

Kedua,
Siapa sebenarnya yang dianggap menguasai tanah itu secara fisik?
Apakah pihak yang sudah menguruk dan menduduki tanah secara ilegal sejak 2013, dengan saksi Kelana yang sendirinya mengaku tidak semuanya yang ia katakan benar karena hanya berdasarkan cerita dari pamannya. Atau kami — keluarga Sumita Chandra — yang memiliki SHM sah sejak 1988, membayar pajak selama 35 tahun, mengelola tambak di atas tanah tersebut, sebelum akhirnya diusir oleh sekelompok orang tak dikenal? semua sudah di konfirmasi oleh saksi-saksi yang kami hadirkan dan bukti-bukti yang sudah kami serahkan.

Bagaimana Majelis Hakim yang Mulia menentukan siapa penguasa fisik yang layak dilindungi oleh negara: apakah yang punya sertifikat, yang membayar pajak dan sejarah kepemilikan yang sah? atau yang mengusir kami, dan menduduki tanah itu tanpa alas hak?

Ketiga,
Siapa yang akan dilindungi oleh pengadilan ini? Apakah ahli waris Sumita Chandra — pemegang SHM sejak 1988, yang telah membayar pajak sampai 2023, yang hanya ingin melaksanakan hak warisnya dan mengurus balik nama sesuai prosedur hukum yang berlaku? Bahkan pewaris sudah di nyatakan sebagai pembeli yang beretikad baik. Ataukah PT Mandiri Bangun Makmur milik Aguan— yang telah menduduki tanah itu secara sejak 2013 tanpa alas hak dan secara melawan hukum ?

Bagi saya jawabannya jelas.

Saya hanya berharap bahwa pengadilan ini masih menjadi tempat terakhir bagi rakyat kecil mencari dan mendapatkan keadilan. Izinkan saya menambahkan satu hal yang sangat penting — bukan hanya untuk diri saya, tapi untuk masa depan banyak warga negara lainnya.

Jika saya diputus bersalah hanya karena Notaris mengisi Formulir Lampiran 13 dalam proses balik nama warisan, maka itu akan menjadi preseden yang sangat berbahaya bagi seluruh ahli waris di Indonesia.

Itu artinya:

Setiap anak yang ingin mewarisi tanah orang tuanya akan berisiko dilaporkan ke polisi oleh penyewa, penggarap, atau pihak lain yang tiba-tiba muncul dan mengaku menguasai tanah.

Lalu, setelah ditersangkakan, akan dipaksa menandatangani perjanjian damai, agar tidak menuntut kembali haknya. Dengan cara itu, negara secara tidak langsung memberi legitimasi kepada praktik-praktik mafia tanah, yang memakai laporan pidana sebagai alat menekan.

Inilah yang sedang saya hadapi.

Dan jika saya dijatuhi hukuman atas perbuatan yang Notaris lakukan secara sah dan administratif — hanya karena prosedur normal balik nama — maka ke depan tidak ada lagi yang aman mewarisi tanah secara tenang.

Mereka tidak hanya mengambil tanah kami, tapi juga membuka jalan agar rakyat kecil tidak bisa melawan. Saya tidak ingin menjadi korban pertama dari sistem seperti itu dan saya yakin Majelis Hakim yang Mulia tidak akan biarkan pengadilan ini menjadi pintu masuk bagi praktik pemerasan legal yang menyamar sebagai proses hukum. 

Karena jika itu terjadi, tanah warisan bukan lagi milik keluarga, melainkan akan menjadi rebutan mereka yang paling kuat, paling cepat melapor, dan paling lihai menyusun skenario hukum. Dan jika pola ini dibiarkan, maka siapa pun bisa menjadi korban — termasuk ahli waris rakyat biasa, maupun ahli waris dari Majelis Hakim yang Mulia dan Jaksa Penuntut Umum sendiri.

Lebih dari itu, putusan ini akan menjadi yurisprudensi yang sangat buruk.

Sebuah preseden yang melegitimasi laporan pidana terhadap setiap ahli waris yang hanya ingin membalik nama tanah milik orang tuanya. Saya percaya, keadilan tidak boleh tunduk pada kekuasaan.

Harapan Terakhir Saya untuk Keadilan

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Saya yakin bahwa Pengadilan ini masih bisa menjadi tempat terakhir bagi rakyat kecil mencari keadilan. Lihat faktanya, lihat bukti-buktinya. Yang saya punya bukan kekuasaan atau pengaruh, tetapi hanya satu hal: kebenaran. Dan saya percaya, keadilan sejati tidak membutuhkan lobi atau kuasa. Ia hanya membutuhkan keberanian untuk berpihak pada yang benar.

Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa satu-satunya dasar yang terus diungkit terhadap saya—yakni Putusan Pidana No. 596/Pid/S/1993/PN/Tng tanggal 16 Desember 1993—telah secara tegas dikesampingkan oleh Putusan PT Bandung No. 726/Pdt/1998/PT.Bdg yang menyatakan Sumita Chandra sebagai pembeli beritikad baik dan berhak mendapat perlindungan hukum, Putusan ini di diperkuat oleh Putusan Kasasi MA No. 3306 K/Pdt/2000 dan PK No. 250 PK/Pdt/2004 yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan sampai hari ini, tidak ada satu pun putusan dari Pengadilan Negeri, maupun dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), yang membatalkan AJB dan SHM atas nama Sumita Chandra. Tidak ada. Sayangnya, BPN dan aparat penegak hukum justru mengabaikan putusan-putusan ini.

Semoga Pengadilan ini tidak mengabaikan kebenaran yang justru telah ditegakkan oleh lembaga peradilan itu sendiri. Majelis Hakim yang Mulia,


Logikanya dimana jika ahli waris dipenjara hanya karena mencatat balik nama warisan atas tanah yang masih sah atas nama ayahnya sendiri? Hanya karena tanah itu lebih dulu diserobot oleh pihak yang tidak punya alas hak?

Dampak Putusan Bagi Rakyat Kecil dan Masa Depan Hukum

Majelis Hakim yang Mulia,

Sdr. Jaksa Penuntut Umum dan sidang yang kami hormati.

Jika logika seperti ini diterima, maka artinya: negara bukan lagi melindungi pemilik sah, tapi justru membuka jalan bagi mereka yang paling cepat melapor, paling kuat menekan, dan paling lihai menyusun skenario hukum — untuk merampas tanah milik orang lain. Hukuman sekecil apapun terhadap saya akan menjadi preseden yang melegitimasi pemidanaan terhadap setiap ahli waris di negeri ini.

Dan saya tidak ingin menjadi korban untuk yang kesekian kalinya dari praktik semacam itu. Saya percaya Majelis Hakim yang Mulia yang adalah “Wakil Tuhan” tidak akan membiarkan pengadilan ini menjadi pintu masuk bagi legalisasi perampasan. Jika saya kalah, mereka yang lain akan habis. Tapi jika saya dimenangkan, maka harapan untuk rakyat kecil masih ada. Saya bukan hanya terdakwa, saya adalah barometer. 

Sebelum menutup risalah pembelaan ini, izinkan saya untuk menyampaikan pesan-pesan:

“Jika pengadilan tak lagi dapat memberikan keadilan, lantas kemanakah rakyat yang terzalimi mencari keadilan di negeri ini? Jika hukum adalah apa yang dikehendaki oligarki, lantas masih layak-kah negara ini disebut sebagai “Negara Hukum”? Jika saya tak dibebaskan dalam kasus ini, masih adakah harapan bagi segenap rakyat untuk percaya, masih ada hukum dan keadilan di negeri ini?”

Putusan bersalah — bahkan dengan hukuman satu hari sekalipun — tidak akan pernah saya terima. Karena saya tahu, saya tidak bersalah.

Terima kasih.

Charlie Chandra anak dari Sumita Chandra

“Foto lokasi tanah SHM No. 5/Lemo di Desa Lemo, Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Dahulu berupa empang budidaya ikan bandeng milik Sumita Chandra, kini menjadi area proyek pembangunan dan objek sengketa hukum pertanahan
Foto lokasi tanah SHM No. 5/Lemo di Desa Lemo, Teluknaga, Kabupaten Tangerang. Dahulu berupa empang budidaya ikan bandeng milik Sumita Chandra, kini menjadi area proyek pembangunan dan objek sengketa hukum pertanahan