Putusan-putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) secara tegas menyatakan bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) No. 5/Lemo adalah sah milik keluarga Charlie Chandra. Kepastian hukum ini telah ditegaskan melalui rangkaian putusan perdata dan tata usaha negara, tidak satu pun amar atau putusan pengadilan yang membatalkan hak milik tersebut. Namun dalam praktiknya, putusan-putusan inkracht ini diperlakukan seolah-olah tidak pernah ada:
Alih-alih dihormati sebagai dasar kepastian hukum, Putusan pidana lama justru diangkat kembali secara terpotong dan digunakan sebagai dasar pelaporan pidana. Sejak saat itulah kriminalisasi terhadap keluarga Charlie Chandra mulai terjadi, meskipun pokok perkara kepemilikan tanah telah selesai dan diputus secara final oleh pengadilan. Jalur pidana kemudian digunakan untuk mempersoalkan kembali hak milik yang telah dinyatakan sah, setelah keluarga Charlie Chandra menolak penjualan tanah kepada PT MBM (PIK 2) dua kali, pada tahun 2013 dan tahun 2021.
Kepemilikan Sah Tanah atas Nama Sumita Chandra
Sengketa lama yang sudah selesai melalui putusan pengadilan di bangkitkan kembali oleh PIK 2.
Tanah yang semula tercatat atas nama The Pit Nio telah dijual kepada Chairil Widjaja, dan selanjutnya Chairil Widjaja menjual tanah tersebut kepada Sumita Chandra melalui mekanisme jual beli yang sah dan sesuai hukum. Setelah terjadinya peralihan hak tersebut, The Pit Nio kembali melakukan penjualan atas tanah yang sama kepada pihak lain, yaitu Wisnu Soejanto, meskipun secara hukum tanah tersebut telah lebih dahulu beralih kepemilikan. Tidak berhenti di situ, The Pit Nio juga kemudian menghibahkan tanah yang sama kepada Vera Juniarti Hidayat, yang merupakan saudaranya.
Baca juga cerita ini di majalah Gatra – Jejak Kelam Agung Sedayu di PIK 2
Rangkaian penjualan dan hibah ulang atas tanah yang telah dilepaskan haknya inilah yang memicu sengketa hukum. Seluruh peristiwa tersebut kemudian telah diperiksa dan diselesaikan melalui proses peradilan, baik perdata maupun tata usaha negara. Pengadilan secara konsisten menilai keabsahan perolehan hak, mempertimbangkan keberadaan perkara pidana yang muncul kemudian, dan pada akhirnya menegaskan bahwa kepemilikan tanah atas nama Sumita Chandra adalah sah dan mengikat secara hukum.
Namun, PT MBM (PIK 2) menggunakan rangkaian peristiwa lama ini sebagai dasar untuk melakukan kriminalisasi terhadap Sumita Chandra dan Charlie Chandra, seolah-olah SHM 5/Lemo tidak pernah dijual beli kan karena adanya putusan pidana lama.
Publik dapat menilai sendiri mana yang benar dan mana yang keliru.
Seluruh fakta, putusan pengadilan, dan dokumen resmi dalam perkara ini terbuka, terdokumentasi, dan dapat diverifikasi.
Inilah bukti-buktinya.
Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)
Keabsahan administratif kepemilikan tanah atas nama Sumita Chandra telah diuji secara menyeluruh melalui proses peradilan tata usaha negara yang berjenjang dan telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu Putusan No. 51/G/PTUN-BDG/1994, yang kemudian dikuatkan oleh Putusan No. 128/B/1995/PT, serta ditegaskan kembali oleh Putusan Kasasi No. 276 K/TUN/1996.
Dalam seluruh tingkatan peradilan tersebut, pengadilan tata usaha negara secara konsisten menyatakan bahwa penerbitan dan keberlakuan administrasi pertanahan yang terkait dengan kepemilikan Sumita Chandra adalah sah menurut hukum, serta tidak terdapat cacat wewenang, prosedur, maupun substansi yang dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hak tersebut.
Putusan PTUN Menegaskan Tidak Ada Dasar Pembatalan Administratif
Majelis hakim PTUN dalam perkara ini telah memeriksa secara mendalam keberatan-keberatan administratif yang diajukan, termasuk klaim adanya cacat administratif dalam penerbitan hak atas tanah. Namun pengadilan menyimpulkan bahwa keputusan administrasi pertanahan yang melandasi kepemilikan Sumita Chandra telah diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, melalui prosedur yang benar, dan berdasarkan alas hak yang sah.
Putusan ini menegaskan bahwa tidak terdapat keputusan tata usaha negara yang cacat hukum yang dapat membenarkan pembatalan sertifikat atau penghapusan hak atas nama Sumita Chandra. Dengan demikian, secara administratif, hak tersebut berdiri sah dan dilindungi hukum.
Tidak Ada Keterkaitan dengan Putusan Pidana Lama
Dalam pengujian administratif tersebut, pengadilan juga mempertimbangkan keberadaan perkara pidana yang kerap dijadikan dalih untuk meragukan kepemilikan Sumita Chandra. Namun, sebagaimana ditegaskan dalam putusan-putusan PTUN tersebut, perkara pidana yang tidak memuat perintah pembatalan administratif tidak dapat dijadikan dasar untuk membatalkan hak melalui jalur tata usaha negara.
Dengan kata lain, putusan pidana lama tidak otomatis meniadakan atau membatalkan keputusan administrasi pertanahan, kecuali terdapat amar putusan yang secara tegas memerintahkan pembatalan. Fakta bahwa putusan PTUN hingga tingkat kasasi tetap menguatkan kepemilikan Sumita Chandra menunjukkan bahwa tidak ada hubungan kausal administratif antara perkara pidana dengan status hak milik tersebut.
Putusan Pengadilan Perdata 726/Pdt/1998/PT.Bdg
Kepemilikan tanah atas nama Sumita Chandra telah diuji secara menyeluruh melalui rangkaian proses peradilan perdata yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht), yaitu Putusan No. 726/Pdt/1998/PT.Bdg, yang kemudian dikuatkan oleh Putusan No. 3306 K/Pdt/2000, serta ditegaskan kembali dalam Putusan Peninjauan Kembali No. 250 PK/Pdt/2004.
Sengketa ini bermula setelah Vera Juniarti Hidayat menerima hibah tanah dari The Pit Nio, padahal secara faktual dan hukum tanah tersebut telah lebih dahulu dijual oleh The Pit Nio sebanyak dua kali, yakni kepada Chairil Widjaja dan kemudian kepada Sumita Chandra. Hibah tersebut dilakukan setelah hak atas tanah telah beralih, sehingga secara hukum The Pit Nio tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengalihkan atau menghibahkan tanah yang sama kepada pihak lain.
Dalam proses peradilan, pada tingkat pertama Sumita Chandra sempat dinyatakan kalah. Namun putusan tersebut tidak berhenti di sana. Pada tingkat banding, majelis hakim melakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh terhadap alas hak, rangkaian jual beli, hibah yang dilakukan kemudian, serta keberadaan perkara pidana yang kerap dijadikan dasar bantahan.
Dalam rangkaian putusan tersebut, pengadilan secara tegas menyatakan bahwa alas hak dan kepemilikan tanah oleh Sumita Chandra adalah sah dan mengikat secara hukum. Majelis hakim juga telah menilai dan mempertimbangkan seluruh keberatan yang diajukan, termasuk keberadaan Putusan Pidana lama No.596/PID/S/1993/PN/TNG mengenai pemalsuan cap jempol.
Pengadilan dalam perkara perdata tersebut secara nyata mengesampingkan Putusan Pidana lama No. 596/PID/S/1993/PN/TNG, dengan pertimbangan bahwa putusan pidana lama tersebut tidak membatalkan hak kepemilikan Sumita Chandra, tidak memerintahkan pembatalan sertifikat, dan tidak menghilangkan keabsahan perolehan hak atas tanah yang disengketakan.
Kedudukan Putusan Pidana lama No. 596/PID/S/1993/PN/TNG
Dalam rangkaian pemeriksaan perkara perdata tersebut, pengadilan telah menilai dan mempertimbangkan keberadaan Putusan Pidana lama No. 596/PID/S/1993/PN/TNG yang berkaitan dengan dugaan pemalsuan cap jempol. Namun, penting untuk ditegaskan bahwa putusan pidana lama tersebut sama sekali tidak memuat amar yang memerintahkan pembatalan hak kepemilikan, tidak memerintahkan pembatalan sertifikat, dan tidak menetapkan adanya peralihan hak atas tanah kepada pihak mana pun.
Lebih jauh, Putusan 596 tidak memiliki hubungan hukum langsung dengan Sumita Chandra, tidak menyangkut Akta Jual Beli (AJB) yang menjadi alas hak Sumita Chandra, serta tidak menilai atau membatalkan perolehan hak Sumita Chandra atas tanah tersebut. Dengan demikian, secara hukum, putusan pidana lama tersebut tidak dapat dijadikan dasar untuk meniadakan, meragukan, ataupun membatalkan kepemilikan Sumita Chandra.
Putusan 596 Tidak Mengikat Administrasi Pertanahan
Karena tidak terdapat perintah pembatalan sertifikat dalam amar Putusan 596, maka secara hukum Badan Pertanahan Nasional (BPN) tidak memiliki kewenangan maupun kewajiban untuk melakukan pembatalan Sertifikat Hak Milik (SHM) atas nama Sumita Chandra berdasarkan putusan tersebut. Dalam sistem hukum pertanahan, pembatalan sertifikat hanya dapat dilakukan apabila terdapat putusan pengadilan yang secara tegas memerintahkan pembatalan atau terdapat keputusan administrasi pertanahan yang sah dan tidak cacat hukum.
Oleh karena itu, sikap BPN yang tidak membatalkan kepemilikan Sumita Chandra merupakan tindakan yang selaras dengan hukum administrasi negara dan prinsip kepastian hukum, bukan bentuk pembiaran atau kelalaian. BPN justru terikat untuk menghormati putusan perdata yang telah inkracht dan tidak boleh bertindak melampaui amar putusan pidana lama yang tidak memberikan perintah administratif apa pun.
Somasi tahun 2021 Justru Mengakui Posisi Sumita Chandra
Somasi Dialamatkan kepada Ahli Waris Sumita Chandra → Pengakuan Fakta Penguasaan & Kepemilikan
Somasi ini secara eksplisit ditujukan kepada “Ahli Waris Sumita Chandra”, bukan kepada pihak lain. Dalam hukum perdata, hal ini mengandung pengakuan implisit bahwa:
Sumita Chandra adalah pihak yang menguasai dan menyimpan SHM No. 5/Lemo semasa hidupnya, dan
Setelah wafatnya Sumita Chandra, penguasaan sertifikat dianggap berada pada ahli warisnya, bukan pada ahli waris The Pit Nio.
Hal ini ditegaskan dalam butir 3 somasi, yang menyatakan bahwa “terakhir diketahui keberadaan Sertipikat Hak Milik (SHM) No. 5/Lemo dikuasai dan disimpan oleh Sumitha Chandra”
Tanggapan Ahli Waris atas Somasi PT MBM (PIK 2)
Somasi yang disampaikan oleh PT Mandiri Bangun Makmur kepada ahli waris Sumita Chandra tidak hanya ditolak dalam jawaban somasi, tetapi juga dijawab secara substansial dengan penjelasan hukum yang memperkuat keabsahan kepemilikan tanah atas nama Sumita Chandra. Dalam tanggapannya, ahli waris menegaskan bahwa Sertifikat Hak Milik No. 5/Lemo hingga saat ini masih tercatat atas nama Sumita Chandra dan tidak pernah dialihkan, dijual, maupun dibatalkan oleh pihak berwenang.
Ahli waris menjelaskan bahwa perolehan hak atas tanah tersebut dilakukan melalui jual beli yang sah pada tahun 1988 dan telah diikuti dengan proses balik nama yang resmi. Seluruh tahapan perolehan hak dilakukan sesuai prosedur hukum dan administrasi pertanahan yang berlaku, sehingga kepemilikan Sumita Chandra berdiri di atas peristiwa hukum yang nyata dan sah.
Terhadap dalil somasi yang mendasarkan klaimnya pada perkara pidana lama, ahli waris menegaskan bahwa perkara tersebut telah diuji dan dipertimbangkan dalam proses peradilan perdata. Pengadilan perdata secara tegas menyatakan bahwa perkara pidana tersebut tidak membatalkan keabsahan jual beli maupun kepemilikan Sumita Chandra, sehingga tidak relevan dijadikan dasar untuk meniadakan hak milik yang telah dinyatakan sah.
Selain itu, ahli waris juga menegaskan bahwa upaya pidana lanjutan yang pernah diarahkan kepada Sumita Chandra tidak pernah terbukti di pengadilan dan telah dihentikan. Oleh karena itu, tidak ada putusan yang menyatakan Sumita Chandra bersalah atau melakukan pemalsuan sebagaimana dituduhkan.
Berdasarkan seluruh uraian tersebut, ahli waris menyimpulkan bahwa tidak terdapat dasar hukum apa pun bagi pihak lain untuk meminta, mengambil, atau menguasai Sertifikat Hak Milik No. 5/Lemo. Kepemilikan tersebut tetap sah, berlaku, dan dilindungi hukum, serta wajib dihormati oleh seluruh pihak.
Pelaporan Pidana, Penyitaan, dan Penghentian Penyidikan
Setelah ahli waris Sumita Chandra menyampaikan jawaban atas somasi, Charlie Chandra justru dilaporkan secara pidana dengan tuduhan penggelapan Sertifikat Hak Milik No. 5/Lemo. Laporan ini diarahkan pada penguasaan fisik sertifikat yang secara administratif masih tercatat atas nama Sumita Chandra.
Dalam proses penyidikan, Sertifikat Hak Milik No. 5/Lemo sempat disita oleh penyidik sebagai bagian dari pemeriksaan perkara. Namun penyitaan tersebut tidak mengubah status hukum sertifikat. Setelah dilakukan penilaian menyeluruh, aparat penegak hukum menyimpulkan bahwa tidak terdapat unsur pidana dalam penguasaan Sertifikat Hak Milik No. 5/Lemo oleh Charlie Chandra dan keluarga Sumita Chandra.
Penyidikan atas laporan penggelapan tersebut kemudian dihentikan (SP3), dan Sertifikat Hak Milik No. 5/Lemo yang sempat disita dikembalikan kepada Charlie Chandra selaku ahli waris. Pengembalian ini memiliki makna hukum yang penting, karena menegaskan bahwa sertifikat tersebut bukan barang hasil kejahatan, melainkan dokumen hak milik yang sah.
Dengan demikian, penghentian penyidikan dan pengembalian Sertifikat Hak Milik No. 5/Lemo justru memperkuat fakta bahwa kepemilikan dan penguasaan sertifikat tersebut berada pada pihak yang benar secara hukum. Tidak mungkin seseorang dinyatakan melakukan penggelapan atas sertifikat yang secara hukum merupakan milik keluarganya sendiri dan tidak pernah dibatalkan oleh putusan pengadilan mana pun.
Peristiwa ini semakin menegaskan bahwa persoalan yang terjadi bukanlah tindak pidana, melainkan kriminalisasi karena keluarga Charlie Chandra telah menolak menjual tanahnya ke PT MBM (PIK 2).
Kesimpulan
Seluruh rangkaian putusan pengadilan perdata dan tata usaha negara telah menegaskan bahwa kepemilikan tanah SHM No. 5/Lemo atas nama Sumita Chandra adalah sah dan tidak pernah dibatalkan.
Putusan pidana yang kerap dikutip tidak memerintahkan pembatalan hak milik, dan bahkan upaya pidana lanjutan telah dihentikan dengan pengembalian sertifikat kepada pihak yang berhak.
Dengan demikian, perkara ini bukanlah sengketa kepemilikan, melainkan persoalan pengabaian putusan pengadilan dan kepastian hukum.